Catatan Silaturrahmi Kebudayaan Cak Nun dan Kiai Kanjeng 2018 (Bagian 1)

31 Tahun Cak Nun di Mandar

Wacana.info
(Foto/Istimewa)

Oleh: Muhammad Munir (Penggiat Literasi di RUMPITA -Tinambung)

Mungkin bagi orang Tinambung, khususnya generasi Teater Flamboyant Mandar, kata Maiyah sudah tak asing lagi dilisankan. Tapi dalam skala Sulbar, tentu tak menutup kemungkinan kata Maiyah diinterpretasi secara berbeda dan beragam oleh setiap jamaah. Bacaan umum kita tentang Maiyah tentu kita sepakat bahwa Maiyah adalah jamaah yang secara rutin berkumpul dalam forum bersama Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Pun boleh jadi dimaknai serupa pengajian, tabligh akbar atau majelis taklim dan sederet makna yang bisa saja dipadankan dengan kata Maiyah. Tapi secara pribadi saya ingin mengatakan bahwa, Maiyah merupakan sebuah proses pencarian yang kutemukan sebagai jawaban dari do’a-do’a yang pernah dan sering kulangitkan.

Secara ideologi, mengenal Maiyah dan bertemu langsung Cak Nun berawal pada tanggal 30 April 2016 ketika berlangsung acara Risalah Cinta Cak Nun dan Kiai Kanjeng di Lapangan Bala Kec. Balanipa Kabupaten Polewali Mandar. Tapi sesungguhnya kekaguman terhadap tokoh yang kesohor dengan julukan Kiai Mbelin  ini telah ada jauh sebelumnya, yakni di awal feformasi digelindingkan pada 21 Mei 1998. Cak Nun, Cak Nur, Amin Rais dan Yusril Ihza Mahendra adalah sosok-sosok yang berhasil menguasai fikiran dan ke-iri-anku melihat mereka mampu menguasai Istana Negara luar dan dalam. Terutama Cak Nun yang saat itu merupakan orang yang dipercayakan untuk mengetik naskah yang akan dibacakan oleh Cak Nur (Nurcholis Madjid) pada tanggal 21 Mei 1998.

Rupanya kekagumanku pada sosok Cak Nun saat itu terlalu jauh menerawang ke langit Jakarta, aku seakan maksyuk menikmati awan dan melupakan ilalang. Betapa tidak, Cak Nun ternyata sudah malang melintang sejak tahun 1987 ke daerah Mandar ini. Aku membayangkan sosok Cak Nun yang disebut-sebut dalam pemberitaan TVRI pada layar yang masih hitam putih merupakan sosok yang tak akan pernah terjangkau olehku. Ternyata sosok yang kukagumi itu telah lama berada diantara sekat-sekat yang tak mampu kurengkuh. Ia telah lama menikmati riak gelombang dan embusan angin dari bibir-bibir alam pesisir teluk Mandar.

Aku bahkan tak menyadari bahwa ia justru lebih dahulu memesrai puluhan anak muda yang setiap malam mangkal dan bernyanyi-nyanyi di pinggir jalan, liar dan suka mabuk-mabukan, anak muda yang tidak mampu mengakses bangku sekolah dan perkuliahan. Sosok yang sepanjang 1987-1997 rasa kagum yang kupancarkan ke langit-langit pulau Jawa saat itu ternyata telah lama di Mandar melakukan aktifitas. Jauh sebelum pertemuan dan rapat-rapat kegaraan di Istana, ia telah sering memimpin langsung workshop, memandu anak-anak muda dalam diskusi dengan aneka topik, mandi ke sungai Mandar sambil menantang anak-anak Mandar berlomba menyelam. Bahkan telah menerima daulat masyarakat Mandar, khususnya kaum ibu, yang beramai-ramai datang membawa sebotol dua botol air mineral, meminta keberkatan dari doa-doanya.  

Kehadirannya ternyata telah ikut dan sangat berperan mendinamisasi proses berpikir kirtis dan proses kreatif masyarakat Mandar dalam semua aspek kehidupan, entah politik, ekonomi, sosial budaya dan tentunya dalam hal agama dan keberagamaan. Pada tahun-tahun tersebut, disetiap kunjungannya, Cak Nun mengingatkan orang-orang Mandar, untuk senantiasa waspada. Sebab relatif tidak terlalu lama, perubahan demi perubahan akan berlangsung di Mandar. Jembatan sudah mulai dibangun. Jalan-jalan akan makin diperlebar. Tidak lama lagi mobil ukuran raksasa akan melintas, mengantar pulaukan aneka produk pertanian di Mandar. Dan ternyata, tahun 2004 menjadi tahun yang seklaigus membuktikan ucapan-ucapannya di era tahun 1980/1990an itu. Dan gambaran Cak Nun tersebut ternyata adalah provinsi baru yang bernama Sulawesi Barat.

Kebanggaan itu terus terpupuk dan menemukan titiknya ketika sempat hadir di acara Milad ke-63 Tahun Cak Nun di Markas Besar Maiyah Menturo Jombang. Acara Ihtifal Maiyah pada tanggal 27 Mei 2016 itu semakin meneguhkan pencarian dan penemuanku pada sosok  Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun yang mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib, seorang intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas islami. Pria kelahiran Jombang, Jawa timur, 27 Mei 1953 ini sekaligus menjadi sosok yang begitu berjasa bagi masyarakat Mandar. Lewat dialah, Mandar kian dikenal secara nasional. Di Ihtifal Maiyah itu, pertama bagi saya berbicara dihadapan Cak Nun pada Panggung Ta’dib SMK Global bersama Tim Letto sekaligus mendampingi Cak Nun memotong nasi tumpeng sebagai bentuk perayaan dan syukuran ke-63 Cak Nun.

Tak sampai disitu, Juni 2017 tepatnya di perayaan 17 Tahun Kenduri Cinta, saya kembali didaulat untuk mewakili Jamaah Maiyah Papperandang Ate untuk menyampaikan testimoni dalam Harlah Maiyah DKI Jakarta di Taman Ismail Marsuki (TIM). Dan beberapa hari kedepan, 9-10 April 2018 Cak Nun dan Kiai Kanjeng akan menyambangi Jamaah Maiyah Mandar di Anjungan Manakarra Mamuju dilanjutkan di Stadion Mandar Majene, sebagai rangkaian silaturrahmi kebudayaan bertajuk Manaraturrahmah. (Bersambung)