Mudik, Tawaf, dan Ilahi Raji‘un

Wacana.info
Muhammad Ainun Nadjib. (Foto/www.caknun.com)

Oleh: Muhammad Ainun Nadjin 

Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu orang berbicara tentang kebangkitan Islam atau Islamic revival. Hal itu biasanya dihubungkan dengan arus pembusukan kebudayaan manusia modern. Komunisme hancur, kapitalisme akan menjadi “Buta Cakil” yang akan mbrodol ususnya oleh kerisnya sendiri. 

Peradaban abad ke-20 yang sekularistik akan dituntut oleh nurani ummat manusia kenapa tak bisa memproduk fasilitas-faslitas hidup dan metoda sejarah yang bisa membahagiakan manusia.

Di ujung semua gejala itu akan berlaku Sunnatullah. Di mana gejala proses respiritualisasi akan berlangsung. Masyarakat modern sekuler akan kembali kepada agama. Nurani zaman merindukan kembali ayat-ayat Allah. Keangkuhan peradaban modern akan mengalami konversi dan titik balik ke nilai-nilai transendental.

Akan tetapi permasalahannya dari mana arus balik itu akan bermula? apa dan siapa yang memeloporinya? Di wilayah mana dari bumi itu akan ia akan berlangsung? Kelompok masyarakat mana yang akan menandai awal kebangkitan itu?

Dewasa ini air kawah tampaknya sudah mengalir keluar dari rahim sejarah. Persoalannya, bayi macam apa yang akan lahir?

***

Apakah Khomeinisme dan Revolusi Iran yang tetap gegap gempita itu boleh dianggap sebagai pelopor dari kebangkitan Islam? Suasana Revolusioner Islam pemerintah dan masyarakat Iran sampai hari, yang selalu meneriakkan USA, Go to Hell! — Apakah bisa diindikasikan sebagai “air kawah” itu? Di mana Amerika Serikat diletakkan sebagai simbol utama dari kesesatan peradaban sekuler?

Mungkin bisa, mungkin tidak.

Mungkin sejarah Iran pasca-Syah Iran memang bertugas menancapkan fundamen bangunan Baitullah peradaban Islam di zaman Modern. Bukankah mereka memang secara tak sengaja disebut sebagai kaum fundamentalis? Iran meletakkan dasar, cor batu-batu, baja pilar-pilar, tulang belulang bangunan yang kini belum bisa kita bayangkan akan bagaimana.

Ketika rumah masih berada pada tahap pademi dan pilar, ia memang belum indah, masih terkesan serba batu, serta keras, serba tidak nyaman. Orang Iran berkorban dicitrai seperti itu oleh proses sejarah pembangkitan Islam dimuka bumi modern.

Nanti masyarakat ilmuwan di belahan bumi Utara, terutama di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Korea — akan terpergok oleh kebenaran Islam melalui eksplorasi tuntas ilmu pengetahuan dan teknologi mereka. Mereka akan terhenyak dan terbangun dari tidur teologi berabad-abad lamanya. 

Mereka akan dengan sendirinya bertugas pada pascapademi. Mereka akan membangun tembok-tembok, memasang atap, blandar, genting, dan cungkup puncak. Dan mereka sudah memulainya, meskipun belum dimaksudkan untuk Islam.

Kemudian kaum muslimin Indonesia, ummat Islam negeri maritim, negeri kepulauan dan hutan, negeri hijau dan keindahan — akan bertugas se­sudahnya. Orang Islam Indonesia akan menjadi seruman penghias, mengecat, mengukir, mbraeni, mamayu hayuning rumah kebangkitan peradaban Islam.

Lihatlah budaya Lebaran kita. Pandanglah mobilisasi Idul Fitri kita. Saksikanlah kita menghiasi penemuan ruhani dan rumbai-rumbai jasmani. Tataplah jutaan orang mengalir, memenuhi kendaraan antar kota, berduyun-duyun mendatangi kembali sumber sejarahnya.

Orang mudik itu melaksanakan teologi ilaihi raji’un. Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washillah kesejarahan lainnya.

Orang mudik itu mengayubagya sumber hidupnya. Mendatangi kembali sangkan hidupnya yang sekaligus merupakan paran hidupnya. Kampung halaman, keluarga, bapak ibu, kakek nenek, kesadaran rahim ibu, dan kelahiran mereka di dunia sampai pada akhirnya sesudah proses mudik geneologis-historis ini, ruhani mereka meneruskan perjalanan itu ke mudik teologis. Yakni, kesadaran dan jeridlaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.

Mestinya, dengan Idul Fitri, dengan mudik segala arti — kita bisa mulai menakar, mempertim­bangkan dan menentukan setiap langkah kita besok sesudah Hari Raya — menjadi langkah karena Allah, langkah milik Allah, langkah untuk Allah, bahkan langkah Allah itu sendiri. (*)