Berguru Pada Salman Al-Fairisi

Wacana.info
Syarifuddin Mandegar. (Foto/Ist)

Oleh: Syarifuddin Mandegar (Pemerhati Sosial)

Kali ini saya akan membincang seorang budak belian yang paling terkenal di era Rasulullah saaw. Adalah Salman Al-Farisi seroang budak yang sepanjang hidupnya ia persembahkan untuk mencari kebenaran. Dalam pencariannya jiwanya berontak, hingga ia dengan tegas meninggalkan agama Majusi yang diwariskan dari orang taunya. Akibat keteguhannya mempertahankan keyakinannya ia dikurung oleh ayahnya dalam rumah dan kakinya dirantai.

Meninggalkan agama yang diyakini dari kedua orang tua sejak lahir, bagi kita hal itu merupakan sikap yang terbilang nekat. Sebab, sangat jarang diantara kita yang rela meninggalkan agama yang dianut oleh kedua orang tua kita. kalau ada yang berani melakukannya, maka stigma anak durhaka segera melekat dipundaknya.

Berbeda dengan Salman Al-Farisi, ia justru menyandarkan pencariannya terhadap seorang Romo yang sekaligus menjadi sebab awal yang ia meninggalkan agama yang dianut kedua orang taunya. Setelah lama belajar, Salman pun kemudian meninggalkan Romo itu lalu mencari Romo-romo lain.

Keyakinannya yang kuat serta ketabahannya, lelaki Persia itu tak pernah putus asa dalam menapaki gurun sahara mencari cahaya kebenaran yang telah firmankan Sang Pemilik Semesta.    

Hingga diakhir episode pencariannya, ia pun berjumpa dengan seorang romo lagi. Lalu romo itu kemudian menitipkan pesan kepadanya bahwa suatu saat nanti dari celah-celah bukit faran akan datang sosok Nabi yang membawa panji-panji kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya seperti Nabi Isa as.

Pesan sang romo itu membakar semangat Salman Al-Farisi dan tanpa basa-basi ia pun melanjutkan pengembaraannya mencari kebenaran menuju daerah Yastrib. Sesampainya di yastrib, ia bekerja dikebun kurma milik seorang Yahudi dalam posisinya sebagai budak. Salman pun menjalani hari-harinya di kebun kurma.

Suatu hari diatas pohon kurma, ia mendengar anak majikannya bercerita bahwa saat ini ada seseorang yang baru datang ke Yastrib yang mengaku sebagai Nabi. Mendegar cerita itu, Salman lalu berteriak dengan lantang dengan luapan kegembiraannya karena orang yang ia nantikan telah datang.

Dengan perasaan bahagia ia pun bergegas turun dari pohon kurmanya lantas bertanya kepada majikannya kemudian dibalas dengan bentakan dan pukulan dengan dalih bahwa Salman hanyalah seorang budak dan tidak berhak ikut campur dalam persoalan kebenaran agama. Sikapnya yang tegar dan tak  mudah putus asa, Salman yang malang itu tak mengindahkan apa kata Majikannya.

Pengembaraannya yang penuh perjuangan itu berbuah manis saat ia bertemu Sosok Rahmatan Lil Alamin yakni Sosok yang tidak hanya dirindukan oleh Salman seorang diri namun juga dirindukan oleh semesta dan kehadirannya telah merubah yang gelap menjadi terang benderang. Sosok itu adalah Rasulullah Muhammad saaw. Allahumma shalli ala Muhammad waali Muhammad.

Ditengah perjumpaannya, lalu Rasulullah mengganti namanya dari nama sebelumnya yakni Salman Al-Farisi atau Salman dari persia menjadi Salman Al-Muhammadi.  Setelah menyematkan nama yang agung itu disanubari Salman, kemudian Rasulullah menginstruksikan kepada seluruh penduduk Yastrib jangan panggil lagi dia Salman Al-Farisi tapi panggillah dia Salman Al-Muhammadi atau Salman dari keluarga Muhammad.

Nama ini sekaligus menampar budaya fedoalisme masyarakat Yastrib yang kala itu sangat membanggakan keturunan atau keluarganya. Hingga Suatu hari, saat orang-orang bertanya kepadanya, Siapakah gerangan engkau wahai sang lelaki asing, lalu dengan percaya diri ia berdiri memperkenalkan dirinya  dengan suara lantang “aku adalah putra Islam dan Nabiku memberiku nama Salman Al-Muhammadi” Salman keluarga Muhammad.

Nama Al-Muhammadi yang ia sandang dibelakang namanya mengukuhkan Salman Al-Farisi sebagai pedang tajam yang akan mengunjam buidaya feodalisme yang telah lama mengakar dikalangan penduduk Yastrib kala itu. Hal ini juga, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Salman al-Farisi telah berdiri tegak melawan tirani feodalisme dan sebagai penyambung lidah atar Risalah Rasulullah “ bahwa kemulian disisi Allah SWT bukanlah dari mana kamu berasal tapi bagaiman kamu mengikatkan diri kamu dengan Tuhan kamu. Salman berkata “ana ibnul Islam” (aku adalah anak Islam). Perkataan itu meluluh lantahkan label-label feodal dan rasisme.

Saat Salman menjadi seroang Gubernur, ia adalah sosok yang berusaha menjauhkan dirinya dari sekat-sekat nepotisme dan sekat-sekat kesukuan. Ia tidak sekedar Gubernur tapi ia adalah tumpuan kaum dhuafa.  Ia Salman Al-Muhammadi rela menghibahkan jabatan Gubernurnya untuk melayani rakyatnya.

Baginya, bahwa tugas seorang pemimpin adalah melayani rakyatnya. Seorang pemimpin bukanlah mereka yang hanya populis ditengah kelompoknya lantas membenci kelompok lain hanya karena perbedaan politik lalu mengorbankan nasib rakyatnya. Salman menghapuskan sekat-sekat itu dan menegakkan nilai kemanusiaan ditengah-tengah rakyat yang ia pimpim.

Barangkali diantara kita berpikir, era Salman berbeda dengan era yang kita jalani sekarang, Salman hidup bersama Rasulullah sehingga wajar kiranya jika Salman mendapat posisi yang penting disisi Rasulullah. Menyembunyikan kelemahan dibalik tembok alibi memang tak sesulit mengakui ke-dhaifan diri kita.

Bahwa kita memang tak semasa Salman, namun tidak lantas membuat kita membelakangi Risalah Rasulullah yang melekat pada diri Salman. Secara Jazadi Salman telah tiada, namun kepribadiaannya tetap hidup ditengah-tengah manusia yang menggunakan akal sehatnya. (*)