Habsi-Irwan, Terima Kasih !

Wacana.info
Nursalim Ismail. (Foto/Koleksi Pribadi)

Oleh: Nur Salim Ismail (Penggiat Sosial)

Jumat (20/01) lalu, Pemerintah Kabupaten Mamuju telah melaunching program Taman Pendidikan Al Quran (TPA) di Masjid Al Muhajirin, Desa Campaloga, Kecamatan Tommo. 

Dikutip dari rilis Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Mamuju, program ini merupakan langkah konkrit Pemerintah dalam menuntaskan buta aksara Al Quran. Mengingat masih tingginya persentasi siswa usia Sekolah yang belum mampu membaca Al Quran.

Untuk diketahui, sesuai kajian yang dilakukan LPTQ Kabupaten Mamuju bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora), hanya sekira 40 persen siswa-siswi di Kabupaten Mamuju yang mampu membaca Al Quran dengan baik. Dengan berdirinya beberapa TPA di Kecamatan, Pemerintah menargetkan bakal mampu menamatkan santri dan santriwati sebanyak lima ribu sampai tujuh ribu setiap tahunnya. 

“Ini langkah konkrit Pemerintah dalam menuntaskan Buta Aksara Al Quran. Ini juga menjadi titik awal dalam pembinaan agar Mamuju bisa mencetak Qari' dan Qariah terbaik,” ujar Bupati Mamuju, Habsi Wahid.

Jika menengok ke belakang, program ini merupakan bagian dari komitmen politik Habsi Wahid dan Irwan Pababari saat keduanya mencalonkan diri sebagai Bupati dan Wakil Bupati pada Pilkada serentak, Desember 2015 lalu. 

Kini, janji itu telah ditunaikan. Tak banyak pemimpin daerah yang mampu (baca; mau) mengartikulasi program pembangunan secara konkrit. Apalagi jika itu berkaitan dengan aspek keagamaan. Tantangannya tak ringan, di tengah regulasi yang belum sepenuhnya mampu didaratkan ke dalam tafsir pembangunan daerah. Ditambah lagi dengan lingkungan yang belum tentu siap pasang badan menjaga masa depan generasi bangsa. Serta gempuran kemajuan yang cenderung melibas peradaban.

Sebatas pengalaman, di beberapa daerah, terdapat sejumlah Bupati yang pernah menolak halus program bercita rasa agama dengan alasan sulitnya mencantolkan dalam nomenklatur perencanaan. Berikut dengan gaya berkelitnya, bahwa hal itu sulit ditemukan hasil secara kuantitatif. Jika pun ada, dengan sangat terpaksa bakal disandarkan pada program bantuan sosial (bansos) maupun hibah. Lebih miris lagi karena dianggap tak layak jual di pentas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Jadilah agenda pembangunan sektor agama selalu ditempatkan pada posisi serba 'insya Allah', menggantung, dan 'lain kali saja'. 

Di beberapa daerah, kepekaan para pemimpin di bidang keagamaan lazimnya ditandai dengan memberangkatkan para Imam Masjid/ Pegawai Syara' menunaikan Ibadah Haji maupun Umrah lewat mekanisme undian berhadiah. Bahkan daerah sekelas Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan, sempat diimpikan sebagai Serambi Madinah. Setelah Aceh yang lebih awal dikenal dengan sebutan Serambi Mekah. 

Mengapa Bulukumba disebut Serambi Madinah kala itu? Di masa kepemimpinan M. Patabai Pabokori, daerah ini begitu deras diidentikkan sebagai etalase perjuangan penegakan Syariat Islam. Di sanalah awal mula dibentuknya organisasi Komite Perjuangan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) Sulawesi Selatan, di bawah komando Abdul Aziz Qahar Muzakkar. 

Pak Patabai, demikian beliau disapa oleh rakan-rekan jurnalis, termasuk Bupati yang begitu responsif dengan ide dan gagasan penerapan syariat Islam. Mulai dari instruksi menutup aurat bagi warga muslimah, penerbitan perda syariat Islam, hingga branding kendaraan dinas (randis) bertuliskan 'Laa Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah'. Untuk urusan randis ini, Patabai Pabokori beralasan sederhana. Katanya, agar memudahkan pelacakan bagi pengguna Randis yang doyan ke tempat-tempat hiburan malam. 

Model-model demikian tidak salah. Namun jika diukur dari perspektif jangka panjang, program pembinaan Al Quran jauh lebih berjangka panjang. Terlihat sederhana, tapi efeknya pasti perkasa. Sebab domainnya bergerak di ranah penguatan sumber daya manusia (SDM). Sekaligus sebagai langkah protektif terhadap ancaman generasi muda yang tengah digempur oleh trend beragama serba instan. 

Jika Kabupaten Bulukumba menggunakan jurus stuktural dan positivisasi ajaran Islam, Pemerintah Kabupaten Mamuju justeru memilih basis TPA sebagai jalur kultural-edukatif untuk mengurai muasal agenda pembangunan agama dan keagamaan di Bumi Manakarra. 
Pilihan ini mirip dengan langkah Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Dr. TGH. Zainul Majdi atau lebih dikenal sebagai Tuan Guru Bajang yang kini menggalakkan program Kampung Al Quran. Di sana, selain telah menggema sebagai Negeri Seribu Masjid, juga sedang dimunculkan pilot project Kampung Al Quran berbasis Mushalla. 

Kembali ke Mamuju. Ditinjau dari aspek modalitas politis, out put dari program ini sudah pasti takkan menuai hasil utuh hingga akhir periode. Sebab bicara pendidikan Al Quran, hasilnya hanya dapat diterawang hingga puluhan tahun ke depan. Ketika peserta didik telah beranjak dewasa. Saat pilihan hidup sepenuhnya ada di tangan mereka. 

Padahal boleh saja seorang pemimpin menyerahkan tanggung jawab pembangunan di bidang keagamaan kepada otoritas tertentu. Cukup dengan memberi kewenangan sebesar-besarnya kepada Kementrian Agama maupun lembaga pendidikan keagamaan lainnya. 

Di sinilah keberanian paket Habsi-Irwan dalam memimpin Mamuju. Komitmen membangun daerah tak sebatas berobsesi meresmikan gedung-gedung pencakar langit. Tapi juga kesadaran menjadi pemimpin yang 'bertanggung jawab ke langit'. 

Kepemimpinan keduanya telah memberi secercah harapan bagi masa depan di Ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Keduanya menunjukkan nyali besar dengan mengakui data buta aksara di daerah yang dipimpinnya. 

Di saat yang sama, mereka tahu cara agar keluar dari garis ketertinggalan itu. Dengan pola sharing anggaran antara APBD dan APBDes, program ini akan memberi insentif bagi 4 orang tenaga pengajar di setiap desa. 

Kiranya cukup beralasan. Selama ini, kendala pengentasan buta aksara seringkali diterjemahkan sebagai bentuk kegagalan orang tua dalam membina anak-anak mereka. Sebaliknya, tuduhan lain menyebutkan, ketersediaan tenaga pengajar di TPA, di samping jumlahnya sedikit, mereka juga dipaksa menelan pil pahit sebagai sosok yang harus bekerja seikhlas mungkin. Imbasnya, menerima lembaran rupiah sebagai imbalan sama halnya dengan menjual ayat-ayat Allah swt. Di sinilah, kuasa pemerintah meretas kebuntuan itu hadir sebagai solusi. 

Karena itu, memberi kesempatan kepada Habsi-Irwan menunaikan satu demi satu janji politiknya merupakan sikap bijak. Sembari berterima kasih atas terobosannya merangkai Mamuju dengan mengedepankan nilai-nilai Qurani. Sekali lagi, tak banyak pemimpin yang peduli Agama.

Sekian...